Pendahuluan

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI.

Selasa, 14 Desember 2010

Buletin Sidogiri

Habib Riziq Shihab, Ketua DPP Front Pembela Islam
Liberalisme Ancam
Kerukunan antar Agama

Kalangan liberal semakin berani melakukan manuver. Selain melakukan desakralisasi agama melalui ranah pemikiran, mereka mulai bermanuver di ranah politik dan hukum. Baru-baru ini, mereka mengajukan judicial review UU no 5/1969 kepada Mahkamah Konstitusi. Upaya mereka gagal. Tapi, di kemudian hari tidak menutup kemungkinan upaya mereka akan lebih gencar lagi.
Rabu (12/06), koresponden Buletin SIDOGIRI di Jakarta, Ad. Mu’iz Ali berkesempatan mewawancarai Habib Riziq Shihab, Ketua DPP FPI(Front Pembela Islam)seputarfenomena ini. Berikut cuplikan wawancara selengkapnya.
Tujuh LSM mengajukan uji materi terhadap UU Penodaan Agama, apa yang paling tampak dari fenomena ini? selengkapnya KLIK D

Cuplikan dari Istinbat

Kekerasan terhadap Perempuan dan Upaya Mengentaskannya 
“Sejak lama bangsa Arab tidak pernah mengakui hak-hak kaum perempuan. Ketika Islam datang dan menyebut nama mereka, aku baru sadar bahwa mereka (kaum perempuan) memiliki hak-haknya secara merdeka.” Umar bin Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu


Lahirnya Islam di tanah Arab, dengan turunnya wahyu Ilahi yang bersamaan memuncaknya budaya Jahiliyah yang sarat diskriminasi dan marjinalisasi terhadap perempuan, telah membawa angin segar bagi wanita-wanita yang hidup di masa paceklik akan moralitas sosial. Sebab, saat itu, praktik kekerasan terhadap perempuan menjadi budaya yang tak dapat dielakkan. Pembunuhan terhadap anak kandung perempuan, penganiayaan, pelecehan dan hal-hal lain semacamnya menjadi bukti kelam bagi sejarah bangsa Arab.
Bukti sejarah era Jahiliyah tersebut tidak hanya terekam dalam kitab-kitab sejarah klasik maupun hasil penelitian modern. Penegasan sejarah itu juga dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur’an: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS an Nahl [16]: 58-59) selanjutnya....
Disinterpretasi Sakralitas Barakah
Oleh: A. Munjil Anam*
 
Barakah sering kali disematkan terhadap sebuah hasil kesuksesan, atau lebih riilnya kepada orang yang telah mencapai kesuksesan, khususnya kesuksekan yang sifatnya duniawi, seperti harta, kedudukan, pangkat, dan hal-hal yang bisa dibanggakan.
Bagi orang-orang pesantren, idiom barakah sudah tidak asing lagi. Setiap hal-ihwal yang dikerjakan selalu disertai dengan doa ’semoga diberkahi’. Barakah dengan sendirinya menjadi sesuatu yang terasa suci, agung, dan bahkan sakral. Pun begitu dengan orang yang mendapatkan barakah. Namun, hingga sejauh ini, masih belum ada referensi detail yang dapat merumuskan seperti apa orang yang mendapat barakah. Kegamangan definisi semacam ini yang akhirnya membuat kabur identitas barakah.
Kesucian barakah bagi kaum bersarung (baca: santri) tidak sekadar dijadikannya sebagai sebuah sublimasi positif dalam beraktivitas. Malah jangan heran jika cukup dengan ungkapan, “awas tidak barakah...!”, spontan kaum bersarung itu merasa minder bahkan enggan untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat menyebabkan tidak barakah, walaupun terkadang ancaman yang sedemikian hanyalah bualan yang sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Tidak hanya bagi kalangan bersarung saja, bagi orang yang sedikit saja mengerti agama, barakah juga menjadi harapan bahkan tujuan utama. Demikian sakralnya barakah hingga kadang menjadi irasional, tidak logis, dan bahkan berlebihan. Barakah yang seharusnya menjadi objek pasif, seolah menukik balik menjadi subjek aktif. Memutarbalikkan rasinonalitas menjadi irasional! Ironis memang.
Tapi sebenarnya yang sangat perlu disayangkan adalah, dewasa ini barakah hanya diidentikkan dengan harta dan kedudukan, sehingga gerak-gerik seseorang seolah terus dikamuflase menjadi sesuatu yang bisa dianggap barakah oleh orang-orang sekitarnya. Karena orang baru bisa mendapat gelar barakah, jika kedudukan atau hartanya telah dianggap mapan. Dan tidak barakah hidupnya bila dia masih tergolong dalam kategori miskin harta dan atau fakir tahta, walaupun kadang di balik kemiskinannya ia kaya hati dan kaya jiwa. Padahal, Allah I telah berfirman (artinya): Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam liang kubur. (QS at-Takâtsur [102]:1-2) Selengkapnya......