Pendahuluan

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI.

Selasa, 14 Desember 2010

Disinterpretasi Sakralitas Barakah
Oleh: A. Munjil Anam*
 
Barakah sering kali disematkan terhadap sebuah hasil kesuksesan, atau lebih riilnya kepada orang yang telah mencapai kesuksesan, khususnya kesuksekan yang sifatnya duniawi, seperti harta, kedudukan, pangkat, dan hal-hal yang bisa dibanggakan.
Bagi orang-orang pesantren, idiom barakah sudah tidak asing lagi. Setiap hal-ihwal yang dikerjakan selalu disertai dengan doa ’semoga diberkahi’. Barakah dengan sendirinya menjadi sesuatu yang terasa suci, agung, dan bahkan sakral. Pun begitu dengan orang yang mendapatkan barakah. Namun, hingga sejauh ini, masih belum ada referensi detail yang dapat merumuskan seperti apa orang yang mendapat barakah. Kegamangan definisi semacam ini yang akhirnya membuat kabur identitas barakah.
Kesucian barakah bagi kaum bersarung (baca: santri) tidak sekadar dijadikannya sebagai sebuah sublimasi positif dalam beraktivitas. Malah jangan heran jika cukup dengan ungkapan, “awas tidak barakah...!”, spontan kaum bersarung itu merasa minder bahkan enggan untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat menyebabkan tidak barakah, walaupun terkadang ancaman yang sedemikian hanyalah bualan yang sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Tidak hanya bagi kalangan bersarung saja, bagi orang yang sedikit saja mengerti agama, barakah juga menjadi harapan bahkan tujuan utama. Demikian sakralnya barakah hingga kadang menjadi irasional, tidak logis, dan bahkan berlebihan. Barakah yang seharusnya menjadi objek pasif, seolah menukik balik menjadi subjek aktif. Memutarbalikkan rasinonalitas menjadi irasional! Ironis memang.
Tapi sebenarnya yang sangat perlu disayangkan adalah, dewasa ini barakah hanya diidentikkan dengan harta dan kedudukan, sehingga gerak-gerik seseorang seolah terus dikamuflase menjadi sesuatu yang bisa dianggap barakah oleh orang-orang sekitarnya. Karena orang baru bisa mendapat gelar barakah, jika kedudukan atau hartanya telah dianggap mapan. Dan tidak barakah hidupnya bila dia masih tergolong dalam kategori miskin harta dan atau fakir tahta, walaupun kadang di balik kemiskinannya ia kaya hati dan kaya jiwa. Padahal, Allah I telah berfirman (artinya): Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam liang kubur. (QS at-Takâtsur [102]:1-2) Selengkapnya......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar